Arsip Tag: Biografi Syaikh Abdul Malik

Syaikh Abdul Malik

Latar Belakang Dan Nasab

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ash’ad bin Muhammad Ilyas, atau lebih dikenal sebagai Syaikh Muhammad Abdul Malik. Beliau dilahirkan di Kedung Paruk, Purwokerto pada hari Jum’at, 3 Rajab 1294 H/1881 M. Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan “Surat Kekancingan” (semacam surat pernyataan kelahiran) dari Pustaka Kraton Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash’ad, Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA. Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Yogyakarta. Nama Abdul Malik diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji bersama.

Pendidikan

Sejak kecil Syaikh Abdul Malik belajar Al-Qur’an dari ayahnya, Syaikh Muhammad Ilyas, kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH. Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Beliau juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja, sebuah kecamatan di sebelah timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Syaikh Abdul Malik yang bernama Kiai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya raya, yang memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan menuju Tanah Suci.

Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa oleh sang ayah, beliau dikirim ke Tanah Suci untuk menimba ilmu agama. Di sana beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, seperti Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.

Pada tahun 1327 H. Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya beliau berkhidmat kepada kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian (1333 H.) ayahandanya meninggal dalam usia 170 tahun dan dimakamkan di Sokaraja. Sepeninggal ayahnya, Syaikh Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan, Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada seratus hari wafatnya sang ayah. Syaikh Abdul Malik kemudian tinggal dan menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini, beliau kemudian lebih dikenal sebagai Syaikh Abdul Malik Kedung Paruk.

Menurut beberapa santrinya, Syaikh Abdul Malik sebenarnya tinggal di Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu. Perlu diketahui, Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jamaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Beliau bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar Makkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Makkah, beliau memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Makkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar.

Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar al-‘Allamah.

Syaikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah Air maupun di Tanah Suci, di antaranya:

• Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, beliau berguru kepada Sayyid Umar Syatha’ dan Sayyid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin Hasyiyah Fathul Mu’in).

• Dalam ilmu Hadits, beliau berguru pada Sayyid Thoha bin Yahya al-Maghribi (ulama Hadhramaut yang tinggal di Makkah), Sayyid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayyid Muhsin al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi.

• Dalam bidang ilmu Syariah dan Thariqah Alawiyah beliau berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Aththas, Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).

• Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki (Makkah).

Murid-Murid

Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH. Khalil (Sirampog, Brebes), KH. Anshori (Linggapura, Brebes), KH. Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.

Murid-murid lainnya dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH. Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH. Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah an-Naqsabandiyah al-Khalidiyah), KH. Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH. Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.

Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kiai, ulama maupun shalihin.

Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-
Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.” Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.

Selain menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi ulama dan pemimpin umat, Syaikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kiai Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.

Dakwah Dan Perjuangan

Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syaikh Abdul Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka beliau pun menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi seperti ini, beliau justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat. Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat untuk menentang penjajahan Belanda, maka beliau pun senantiasa menyuntikkan semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung Slamet.

Pada masa Gestapu, Syaikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI. Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal, sedangkan Syaikh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.

Keluarga

Syaikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri
pertamanya adalah Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, Kiai Abu Bakar bin Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat tahun 1953 M, pada usia sekitar 30 tahun).

Istri kedua Syaikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai anak. Istimewanya, suatu hari Syaikh Abdul Malik hendak menceraikannya, namun Mbah Mrenek berkata, “Pak Kiai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat.” Mendengar permintaan ini, Syaikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya. Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat tahun sepeninggal Syaikh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syaikh Abdul Malik diteruskan.

Kepribadian

Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat
Nabi Khidir As atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain.

Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan
menghormatinya. Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH. Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.

Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada para jamaah, ”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”

Wafat

Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam Jum’at), Syaikh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan shalat Isya’ dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas pun berhembus. Syaikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum’at, selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung Paruk, Purwokerto.