Arsip Tag: Tokoh Habaib

Habib Ali Bungur

Latar Belakang Dan Nasab

Al Habib Ali bin Husein bin Ali bin Muhammad bin Ja’far bin Ali bin Husein bin Al-Quthb Al-Habib Umar bin Abdurrahman bin Aqil al-Aththas bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman as-Seqqaf bin Muhammad Mauladawileh bin Ali Maula Darrak bin Alwy al-Ghuyyur bin Al-
Faqih Al-Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali Ar-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatina Fathimah az-Zahra binti Rasulullah SAW.

Habib Ali bin Husin al-Aththas dilahirkan di Huraidhah, Hadramaut, pada tanggal 1 Muharram 1309 H atau 1889 M, juga dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur. Karena pada akhir hayatnya, beliau dan keluarga tinggal di Bungur, Jakarta Pusat. Sebelumnya, guru sejumlah kiai Jakarta ini tinggal di Cikini, Jakarta Pusat. Hingga kala itu namanya dikenal dengan sebutan Habib Ali Cikini.; Pada tahun 1960-an, rumahnya di Cikini terbakar. Maka beliau pun pindah ke Bungur, sebuah kampung di kawasan Senen, yang mayoritas penduduknya warga Betawi.

Pendidikan

Sejak usia enam tahun beliau telah menuntut ilmu keislaman pada sebuah ma’had atau pesantren di Hadramaut. Setelah menempuh pendidikan belasan tahun, pada tahun 1912 M dalam usia 23 tahun beliau pun menunaikan ibadah haji. Di Makkah, Habib Ali menetap selama lima tahun yang waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu pada sejumlah ulama. Pada tahun 1917 M, beliau kembali ke Huraidhah, dan mengajar di kota yang banyak memiliki pesantren itu.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1920 M, dalam usia 41 tahun, beliau pun berangkat ke Jakarta. Hanya dalam waktu singkat, Habib Ali yang selalu dekat dengan rakyat itu, telah dapat menguasai bahasa Indonesia. Beliau mula-mula tinggal di Cikini, berdekatan dengan Masjid Cikini, yang dibangun oleh pelukis Raden Saleh. Beliau dengan cepat dapat menarik perhatian masyarakat setempat.

Setelah menetap di Jakarta, beliau berguru kepada para ulama yang berada di tanah air, diantaranya :
• Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Empang Bogor)
• Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas (Pekalongan)
• Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya)
• Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso).

Dakwah

Semasa hidupnya Habib Ali al-Aththas selalu berjuang membela ummat, kesederhanaan serta istiqomahnya dalam mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi tauladan yang baik bagi ummat. Beliau selalu mengajarkan dan mempraktekkan bahwa Islam mengajak ummat dari kegelapan pada cahaya yang terang, membawa dari taraf kemiskinan kepada taraf keadilan dan kemakmuran.

Habib Ali al-Aththas, selama 56 tahun telah mengabdikan diri untuk perjuangan agama. Bukan saja di Indonesia, juga di Malaysia dan Singapura, banyak muridnya. Di antara para muridnya merupakan ulama terkemuka kala itu. Seperti Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi (putra Habib Ali Kwitang), Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Malang), KH. Abdurrazzaq Ma’mun, Prof. KH. Abu Bakar Aceh ( penulis terkenal dan produktif di masanya), KH. Abdullah Sjafi’ie (pimpinan majelis taklim Assyfi’iyah), KH. Thohir Rohili (pimpinan majelis taklim Attahiriyah), KH. Syafi’i Hadzami (ketua umum MUI Jakarta), dan puluhan ulama lainnya. Bahkan, para muridnya itu kemudian menjadi guru para mubaligh, dan perguruan tinggi Islam.

Karya Dan Pemikiran

Habib yang dikenal sebagai guru dari sejumlah ulama terkemuka di Betawi itu, pada masa hidupnya dikenal sebagai ulama ahli dalam bidang fiqih, falsafah, tasawuf, dan perbandingan mazhab. Menguasai berbagai kitab kuning dari berbagai mazhab.

Lewat tangan Habib Ali al-Aththas, lahir sebuah karya besar dan penting, kitab Taj al-A’ras fi Manaqib al-Habib al-Quthub Shalih bin Abdullah al-Aththas; terdiri dari dua jilid tebal, jilid pertama 812 halaman (termasuk daftar isi) sedangkan jilid ke dua 867 halaman. Dalam kitab yang diterbitkan tahun 1977 ini, Habib Ali meenguraikan perjalanan hidup banyak tokoh Ulama dan orang-orang terkemuka yang pernah beliau jumpai, khususnya di Hadramaut, baik dari kalangan Habaib maupun yang lain.

Dalam kitab yang terbilang langka ini, juga terdapat ulasan-ulasan mengenai persoalan-persoalan penting. Baik yang berkaitan dengan habaib maupu yang bersifat umum. Seperti dalil-dalil tentang karomah para wali, bahasan tentang ‘ilmu yaqin, haqqul yaqin dan ‘ainul yaqin. Juga mengenai thariqoh Alawiyah, pandangan ulama Alawiyyinmengenai karya-karya Ibnu Arabi, air zamzam, firasat orang mu’min sebagaimana yang tertera dalam hadits, ruqyah.

Dibahas pula mengenai penjajahan Inggris terhadap Hadramaut, keadaan Hadramaut sebelum dijajah, serangan kaum Wahabi di Huraidhah dan Wadi ‘Amd, masuknya Isam di Jawa, Sultan Hasanuddin Banten, perang dunia II, mengenai Imam Yahya dari Yaman, tentang Betawi, pemakaman tanah abang, kisah Laila dan Majnun. Juga persoalan – persoalan fiqih dalam Madzhab Syafi’i, celak mata dan lain-lain.

Wafat

Habib Ali bin Husein al-Aththas wafat pada tanggal 16 Februari 1976, jam 06:10 pagi dam usia 88 tahun dan beliau dimakamkan di pemakaman Al-Hawi, condet Jakarta timur.

* Dari berbagai sumber

Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi

Habib Ali Kwitang

Latar Belakang Dan Nasab

Ibunda Habib Ali al-Habsyi bernama Nyai Salmah, puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Ketika awal perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi, beliau lama sekali tidak memperoleh seorang putra pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.

Mendengar mimpi istrinya, Habib Abdurrahman segera menemui Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah akan mendapatkan seorang putra yang shaleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya. Apa yang dikemukakan oleh Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 H. bertepatan tanggal 20 April 1870 M. lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, kelak kemudian lebih terkenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang.

Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatullah ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut. Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M, dan dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki, yang kala itu milik Raden Saleh.

Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Habib Abdullah menikah di Semarang dan ketika dalam pelayaran kembali ke Pontianak, beliau wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali datang dari Hadramaut, lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para Sultan dari Klan Algadri.

Nasab Habib Ali al-Habsyi adalah: Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi (shahib syi’ib) bin Muhammad bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi, nasab ini terus bersambung hingga Rasulullah SAW.

Pendidikan

Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali al-Habsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman al-Habsyi tidak meninggalkan harta benda apapun.

Ketika usianya mencapai sekitar 11 tahun, Habib Ali berangkat ke Hadramaut untuk belajar agama. Tempat pertama yang ditujunya ialah ke rubath Al-Habib ‘Abdur Rahman bin ‘Alwi al-’Aydrus. Di sana beliau belajar dengan para ulamanya, antara lain yang menjadi gurunya ialah:

• Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Maulid Simthud Duror)
• Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan al-Aththas
• Al-Habib Hasan bin Ahmad al-Aydrus
• Al-Habib Zein bin Alwi Ba’abud
• Asy-Syaikh Hasan bin Awadh Mukkaddam
• Al-Imam Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (Mufti Ad-Dhiyyar al-Hadramiyyah)
• Al-Habib Umar bin Idrus bin Alwi al-Aydrus
• Al-Habib Alwi bin Abdurrahman al-Masyhur

Pada tahun 1300 H, Habib Ali menghadiri majelis maulid yang diadakan oleh Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Maulid Simthud Duror) di Seiwun, Hadramaut. Pada saat itu hadir pula Al-Quthub Al-Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhor beserta anak-anaknya. Di sana Habib Ali bertemu dengan para ulama dan auliya’. Di kesempatan itulah beliau pergunakan untuk meminta doa dan ijazah kepada mereka. Setelah bermukim selama enam tahun di Hadramaut, sekitar tahun 1303 H bertepatan dengan tahun 1886 M beliau pulang ke tanah air.

Walaupun Habib Ali lama belajar di Hadramaut, beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah:

• Al-Habib Muhammad bin Thohir al-Haddad (Tegal)
• Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (Surabaya)
• Al-Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas (Empang, Bogor)
• Al-Habib Husain bin Muhsin asy-Syami al-Aththas (Jakarta)
• Al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhor (Bondowoso)
• Al-Habib Ahmad bin Muhsin al-Haddar (Bangil)
• Al-Habib Abdullah bin Ali al-Haddad (Bangil)
• Al-Habib Utsman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi)
• Al-Habib Muhammad bin Alwi ash-Shulaibiyah al-Aydrus
• Al-Habib Salim bin Abdurrahman al-Jufri
• Al-Habib Husein bin Muhsin al-Aththas
• Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan)
• K.H. Abdul Hamid (Jatinegara)
• KH. Mujtaba bin Ahmad (Jatinegara).

Pada usia 20 tahun Habib Ali al-Habsyi menikah dengan Hababah Aisyah Assegaf dari Banjarmasin. Beberapa waktu kemudian beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam datuknya, Rasulullah SAW di Madinah. Selama di sana beliau pergunakan untuk menuntut ilmu dan mendapatkan ijazah dari ulama di Makkah, diantaranya:

• Al-Imam Muhammad bin Husain al-Habsyi (Mufti Makkah)
• Sayyid Abu Bakar al-Bakri Syatha ad-Dimyati
• Asy-Syaikh Muhammad Said Babsail (Pengarang Kitab I’aanathuth Thoolibiin)
• Asy-Syaikh Umar Hamdan al-Maghribi
• Asy-Syaikh Umar bin Abi Bakar Bajunaid
• Al-Habib Abdullah bin Muhammad Sholih az-Zawawi.

Sedangkan di kota Madinah Al-Munawwaroh, beliau belajar kepada:
• Al-Habib Ali bin Ali al-Habsyi
• Al-Habib Abdullah Jamalullail (Syaikh Al-Asaadah)
• Asy-Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Azabi, anak dari pengarang kitab Maulid Azabi.

Dakwah

Setelah kembali ke tanah air, Habib Ali al-Habsyi aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak ummat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam dengan dasar cinta kepada Allah dan Muhammad SAW. Selain di pengajian tetap di Majlis Taklim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan ummat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung.

Selain itu Habib Ali juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, di antaranya Al-Azhar al-Wardiyyah fi as-Shuurah an-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi ash-Shalawat ala Khair al-Bariyyah.

Pada tahun 1919 M, Habib Ali mendapat mandat untuk mensyiarkan Maulid Simthud Duror dari gurunya, Al-Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, bahkan isyarat dari Rasulullah SAW. Maka pada tahun 1920 M, Habib Ali mulai menggelar Maulid dengan membaca Simthud Duror di kawasan Tanah Abang. Dan pada tahun 1937 M, acara maulid diselenggarakan di Kwitang, Jakarta Pusat.

Selama hayatnya, Habib Ali al-Habsyi melaksanakan Maulid dengan pembacaan Simthud Duror, rutin setiap akhir Kamis atau Lamis terakhir bulan Rabi’ul Awwal sebanyak 51 kali. Di tangan beliau, Maulid Simthud Duror bekembang dengan pesat dan dikunjungi jamaah bukan hanya dari masyarakat Jabotabek, tapi juga dari daerah-daerah lain dan bahkan dari negara-negara sahabat.

Dalam rangka memantapkan tugas dakwahnya, Habib Ali membangun Masjid ar-Riyadh tahun 1940-an di Kwitang serta di samping masjid tersebut didirikannya sebuah madrasah yang diberi nama Madrasah Unwanul Falah. Tanah yang digunakan untuk membangun masjid tersebut merupakan wakaf yang sebagian diberikan oleh seorang betawi bernama Haji Jaelani (Mad Jaelani) asal Kwitang. Banyak ulama Betawi atau Jakarta yang pernah menjadi muridnya atau pernah belajar di madrasah yang didirikannya.

Di antara muridnya yang terkenal adalah KH. ‘Abdullah Syafi’i (pendiri Majlis Taklim Assyafi’iyah), KH. Thahir Rohili (pendiri Majlis Taklim Atthohiriyah) dan KH. Fathullah Harun (ayah dari Dr. Musa Fathullah Harun, seorang bekas pensyarah UKM).

Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan agar ummat Islam senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah Islamiyah dan meneladani keluhuran budi Rasulullah SAW, beliau juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan Negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan Rasulnya.

Wafat

Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi sebelum akhir hayatnya pada tahun 1968 M. mengalami pingsan selama kurang lebih 40 hari. Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa sadarkan diri. Dalam keadaan itu beliau senantiasa disuapi air zamzam oleh putranya sebagai pengganti makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.

40 hari kemudian, akhirnya Habib Ali al-Habsyi mulai sadar. Dipanggillah putranya: “Ya Muhammad, antar Abah ke hammam (kamar mandi) untuk bersih-bersih diri.” Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu, Habib Muhammad merasa sangat senang karena ayahnya sudah berangsur sembuh. Diantarlah ayahnya oleh Habib Muhammad ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri.

Usai Habib Ali al-Habsyi mandi dan berwudhu, beliau duduk di tempat tidurnya dan meminta dipakaikan pakaian kebesarannya yaitu jubah, imamah dan rida’nya. Lalu beliau meminta putranya untuk membacakan qashidah “Jadad Sulaima ” yang menjadi kegemaran beliau. Qashidah tersebut adalah karangan guru beliau, yaitu Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (Shahib Simthud Duror). “Ya Muhammad, aku lihat Rasulullah sudah hadir. Bacalah qashidah Jadad Sulaima. Lekaslah baca, ayo Bismillah!”

Mendengar ucapan ayahnya, segera Habib Muhammad membacakan qashidah tersebut sambil menangis dan tidak mampu menyelesaikan qashidah tersebut. Akhirnya yang melanjutkan qashidahnya adalah Habib Husein bin Thaha al-Haddad.

Setelah selesai pembacaan qashidah tersebut, Habib Ali al-Habsyi berkata: “Ya Muhammad, hari apakah ini?”. Habib Muhammad menjawab: “Hari Ahad ya Abah. Jamaah sudah penuh hadir di Majelis.”

Kemudian Habib Ali al-Habsyi kembali berkata: “Ya Muhammad, kirimkan salamku pada seluruh jamaah. Dan pintakan maaf atas diriku pada seluruh jamaah. Pintakan maaf untukku pada mereka. Sesungguhnya diri ini tidak lama lagi, karena sudah datang Rasulullah dan datuk-datuk kita.”

Dengan perasaan sedih yang mendalam, Habib Muhammad pun akhirnya menyampaikan pesan ayahnya pada semua jamaah yang hadir di Majelis Ta’lim Kwitang hari Minggu pagi itu. Tidak lama setelah itu, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sebelum wafatnya, beliau mengajak kepada yang berada di sekitarnya untuk membaca talqin dzikir “ La Ilaha Illallah ”. Semua yang hadir, termasuk Habib Ali bin Husein al-Aththas (Habib Ali Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan para keluarga mengikuti ucapan Habib Ali al-Habsyi yang semakin lama semakin perlahan hingga hembusan nafasnya yang terakhir kali.

Akhirnya Habib Ali al-Habsyi wafat di pangkuan Habib Ali bin Husein al-Aththas dalam keadaan berpakaian kebesarannya. Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi wafat hari Ahad 20 Rajab 1388 H/13 Oktober 1968 M. dan dimakamkan di Kwitang.

* Dari berbagai sumber