Syaikh Hasyim Asy'ari

Latar Belakang Dan Nasab

Nama lengkapnya Muhammad Hasyim Asy’ari. Beliau lahir di Desa Nggedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada tanggal 10 April 1875 M./ 4 Jumadil Awwal 1292 H. Masa dalam kandungan dan kelahiran beliau, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. di antaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.

KH. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari bin Abdul Wahid, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah binti Kiai Utsman. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.

Berdasarkan silsilah KH. Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan dari Sultan Pajang Jaka Tingkir. Berikut silsilahnya: KH. Hasyim Asy’ari bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdur Rahman (Mas Karebet/Jaka Tingkir yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya).

Pendidikan

Di masa kecil KH. Hasym Asy’ari tinggal bersama kakeknya, Kiai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Ini berlangsung selama 6 tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.

KH. Hasyim Asy’ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh KH. Abdullah Faqih), kemudian di Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).

Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan Kiai Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.

Pada tahun 1303 H/1892 M., KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Makkah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.

Di Makkah, awalnya KH. Hasyim Asy’ari belajar dibawah bimbingan Syaikh Mahfudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Shahih Bukhari di Makkah. Syaikh Mahfudz adalah ahli hadits dan hal ini sangat menarik minat belajar KH. Hasyim Asy’ari sehingga sekembalinya ke Indonesia pesantren beliau sangat terkenal dalam pengajaran ilmu hadits. Beliau mendapatkan ijazah langsung dari Syaikh Mahfudz untuk mengajar Shahih Bukhari, dimana Syaikh Mahfudz merupakan pewaris terakhir dari pertalian penerima (isnad) hadits dari 23 generasi penerima karya ini. Selain belajar hadits beliau juga belajar tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

KH. Hasyim Asy’ari juga mempelajari fiqih madzhab Syafi’i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. Di masa belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah KH. Hasyim Asy’ari mempelajari Tafsir Al-Manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya beliau mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.

Gurunya yang lain adalah termasuk ulama terkenal dari Banten yang mukim di Makkah yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Sementara guru yang lain diantaranya Syaikh Shata dan Syaikh Dagistani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz at-Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.

Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami KH. Hasyim Asy’ari di tanah suci Makkah. Setelah tujuh bulan bermukim di Makkah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Makkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Makkah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdo’a untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah.

Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Makkah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Pada tahun 1313 H./1899 M., sepulangnya dari Makkah, KH. Hasyim Asy’ari memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Nggedang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Di sinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga KH. Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Jombang.

Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren dan dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya besar di kalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannya.

Pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti KH. Abas Buntet, KH. Sholeh Benda Kereb, KH. Syamsuri Wanantara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesulitan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi. Pesantren Tebuireng kemudian berkembang menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.

Keluarga/b>

Setelah menikah dengan Nyai Nafisah binti Kiai Ya’qub dan putri Kiai Banjar Melati, KH. Hasyim Asy’ari pernah beberapa kali menikah.

Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
1. Hannah
2. Khoiriyah
3. Aisyah
4. Azzah
5. Abdul Wahid
6. Abdul Hakim (Abdul Kholiq)
7. Abdul Karim
8. Ubaidillah
9. Mashurroh
10. Muhammad Yusuf

Menjelang akhir tahun 1930 M., KH. Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliau dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1. Abdul Qodir
2. Fatimah
3. Chotijah
4. Muhammad Ya’kub

Peranan Dalam Bidang Sosial Dan Kebangsaan

Peran KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan.

Disamping aktif mengajar KH. Hasyim Asy’ari juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sya’ban 1344 H./31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi Rois Akbar NU, sebuah gelar yang hingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham Ahlussunnah Waljama’ah.

KH. Hasyim Asy’ari juga terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah Belanda. Masa-masa revolusi fisik di tahun 1940 M., barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau.

Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 M. KH. Hasyim Asy’ari pernah ditangkap dan ditahan di Jombang, dan dipindahkan ke penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan negara Republik Indonesia, yaitu dengan diserukan Resolusi Jihad yang beliau fatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional .

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 KH. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum Dewan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI). Jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Karya Dan Pemikiran

KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang produktif menulis. Telah banyak kitab-kitab beliau yang terbit, dan setiap tahunnya pun dikaji dimana-mana. Waktu yang digunakan KH. Hasyim Asy’ari untuk menulis biasanya adalah pagi hari diantara jam 10.00 sampai menjelang Dzuhur.

Tulisan beliau beragam, ada yang menerangkan agama, aqidah, syari’ah, fiqih, hadits, hubungan sesama manusia, politik, etika, sejarah dan sebagainya. Kitab yang beliau tulis merupakan pengalaman yang pernah beliau alami. Seperti Kitab at-Tanbihat al-Wajibat, adalah sebuah kitab yang berisikan pengalaman beliau atas perayaan maulid yang dicampuri dengan berbagai macam kemungkaran. Peristiwa ini terjadi ketika beliau pergi ke Sewulan Madiun pada 1355 H. Ada juga kitab beliau yang berjudul Ziyadah at-Ta’liqot, isinya adalah perdebatan/ikhtilaf beliau dengan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan yang menolak amaliyah NU.

Beliau juga sering mengisi kolom pada majalah dan surat kabar pada waktu itu, seperti, Panji Masjarakat, Soeara Masjoemi, dan Swara Nahdhotul Oelama’. Tulisan beliau biasanya berbentuk artikel, fatwa, ceramah dan jawaban atas pertanyaan para pembaca (beliau sebagai pengasuh rubrik tanya jawab masalah fiqiyyah).

Untuk membudayakan tradisi tulis menulis di kalangan warga NU, bersama KH. Abdul Wahab Hasbullah, beliau mendirikan majalah NU dengan nama “Soeara Nahdhotoel Oelama”. Edisi perdananya terbit pada 1 Shafar 1346 H./1930 M. (empat tahun setelah NU didirikan). Selain berisikan informasi penting tentang laju perkembangan NU, di dalamnya juga terdapat berita-berita aktual seputar nasional. Majalah ini memiliki ciri khas yang tak dijumpai majalah lainnya, yakni bertuliskan Jawa pegon (bahasa jawa yang ditulis dengan huruf hijaiyah). Atas prakarsa beliau inilah, kini telah beredar banyak majalah NU di Nusantara hingga menjadikan generasi muda NU gemar untuk tulis menulis.

Adapun karya-karya KH. Hasyim Asy’ari yang dapat ditelusuri dan dijumpai hingga saat ini diantaranya:
1. Al-Tibyan fi an-Nahy ‘an Muqathaah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Penjelasan dalam melarang memutus silaturrahim sanak famili, kerabat dan saudara.
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan hukum pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’.
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-Aimmah al-Arba’ah. Risalah yang menerangkan memperkuat berpegang teguh atas madzhab empat.
4. Mawaidz. Beberapa Nasihat.
5. Arba’in Haditsan Tata’alliq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar Nahdhatul Ulama’

Kelima kitab karya KH. Hasyim Asy’ari di atas dikumpulkan menjadi satu kitab yang diatasnya diberi judul besar AT-TIBYAN berjumlah 41 halaman.

Kitab-kitabnya yang lain diantaranya:
1. An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para Rasul.
2. At-Tanbihat al- Wajibatliman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib untuk orang yang mengadakan kegiatan maulid dicampuri dengan kemungkaran.
3. Risalah Ahli Sunnah Waljama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syrat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahlussunnah Waljama’ah menerangkan tentang hadits-hadits yang menjelaskan kematian serta tanda-tanda hari qiyamat dan menjelaskan kefahaman sunnah dan bid’ah.
4. Ziyadah Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syaikh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Tambahan yang berhubungan atas nadzm Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan.
5. Dhu’ul Misbah fi Bayan Ahkam an-Nikah. Cahayanya sebuah yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
6. Ad-Durosul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyaroh. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah.
7. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarah Risalah al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari. Komentar atas kitab Fath ar-Rahman penjelas Kitab Risalah al-Wali Ruslan karya Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
8. Ar-Risalah at-Tauhidiyah. Risalah tauhid.
9. Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid.
10. Ar-Risalah al-Jama’ah.
11. Ar-risalah fi al-’Aqaid. Menerangkan aqidah.
12. Ar-risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang ilmu tasawuf.
13. Adab al-Alim wal Muta’allim fi maa Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa maa Ta’limihi. Etiika pengajar dan pelajar dalam hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pelajar selama belajar.

Bila Kiai Kholil Bangkalan terkenal dengan sebutan “Syaikhuna Waliyullah” maka KH. Hasyim Asy’ari mendapat gelar “Hadratus Syaikh”. Gelar Maha Guru ini mutlaq diberikan kepada KH. Hasyim Asy’ari sebab hampir seluruh ulama’ tanah Jawa pernah berguru kepada beliau. Tercatat seperti KH. Abdul Karim (pendiri Pesantren Lirboyo Kediri), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Pesantren Tambak Beras), KH. Romly (Pesantren Darul Ulum) dan lain-lain.

Meski beliau menyandang banyak gelar seperti yang dituliskan dalam taqridz atas Kitab Sirajut Thalibin karya Kiai Ihsan Jampes, hal ini tidak menjadikannya sombong. Beliau tidak pernah menyebutkan gelar itu sama sekali. Padahal beliau adalah orang yang paling pas untuk mendapatkan gelar tersebut. Terbukti pada manuskrip asli karya-karya beliau. Di sana tidak ditemukan embel-embel yang menyertai nama beliau , seperti Kiai, Haji, Syaih, Alim, apalagi al-Allamah. Akan tetapi beliau lebih memilih embel-embel yang bersifatnya merendahkan diri kepada Allah. Beliau selalu menulis kata-kata al-Faqir (yang faqir), al-Haqir (yang hina), sebelum namanya disebut. Inilah salah satu sifat tawadhu’ yang beliau miliki.

Wafat

Pada tanggal 6 Ramadhan 1366 H. jam 9 malam, setelah mengimami shalat Tarawih, sebagaimana biasanya KH. Hasyim Asy’ari duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.

Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping KH. Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).

Tak lama kemudian baru diketahui bahwa KH. Hasyim Asy’ari terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Allah SWT berkehendak lain pada kekasihnya itu. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan tanggal 6 Ramadhan 1366 H.

* Dari berbagai sumber

Tinggalkan komentar