Syaikh Nawawi al-Bantani

Latar Belakang Dan Nasab

Indonesia pernah memiliki seorang ulama termasyhur di jazirah Arab. Beliau menjadi imam di Masjidil Haram, mengajar di Haramain, menulis buku yang tersebar di Timur Tengah. Dialah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Namanya sangat terkenal di Saudi hingga dijuluki “Sayyid Ulama al-Hijaz”, yakni ulama di kawasan Hijaz. Kefakihannya dalam agama pun membuatnya dijuluki Nawawi ats-Tsani atau Nawawi Kedua, maksudnya penerus ulama dunia terkenal, Imam Nawawi (wafat 676 H./1277 M.)

Nama dan gelar lengkap beliau, yakni Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Beliau lahir di Kampung Pesisir Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, pada tahun 1230 H. atau 1815 M.

Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani bernama Kiai Umar bin Arabi dan ibunya bernama Zubaidah. Keduanya adalah penduduk asli desa Tanara kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang, Banten. Ayahnya seorang ulama sebagai pendiri dan pembina pertama-tama masjid jami Desa Tanara itu dan pernah menjabat sebagai penghulu Kecamatan di daerah tersebut. Secara geneologis, Syaikh Nawawi merupakan keturunan ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) Cirebon yaitu keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Kerajaan Islam Banten I).

Silsilah keturunan Syaikh Nawawi dari ayahnya adalah Umar bin Arabi bin Ali bin Jamad bin Janta bin Masbugil bin Masqun bin Masnun bin Maswi bin Tajul Arusy Tanara bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah bin Amatudin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Sahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Mubajir Ilalahi bin Imam Isya Al-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja’far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.:

Adapun silsilah keturunan pihak Ibunya adalah bahwa Syaikh Nawawi putra Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja.

Dalam masalah-masalah Agama keluarga Syaikh Nawawi termasuk keluarga besar yang menonjol di daerahnya. Semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang suka menuntut ilmu khususnya ilmu-ilmu pengetahuan agama. Ini semua membukakan jalan seluas-luasnya bagi Syaikh Nawawi untuk meraih sukses dalam bidang ilmu pengetahuan.

Pendidikan

Pada usia lima tahun, Syaikh Nawawi al-Bantani belajar langsung dibawah asuhan Ayahandanya. Dari ayahnyalah Syaikh Nawawi mendapatkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu Agama seperti bahasa Arab, tauhid, fiqih dan tafsir. Setelah itu barulah beliau dan kedua adiknya, Ahmad dan Tamim belajar kepada ulama ulama lain seperti Kiai Sahal di Banten dan Kiai Yusuf seorang Ulama terkenal di Purwakarta.

Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai pengembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur, setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar bahasa.

Syaikh Nawawi adalah seorang ulama yang haus akan ilmu pengetahuan. Setelah belajar kepada orang tuanya sendiri dan beberapa ulama di Jawa, dalam usianya yang relatif muda, 15 tahun, Syaikh Nawawi bersama kedua saudaranya Tamin dan Ahmad berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Tapi, setelah musim haji usai, beliau tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan beliau bertahan di Kota Suci Makkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama terkenal pada zaman itu, di antaranya adalah Syaikh Ahmad an-Nahrawi, Syaikh Ahmad ad-Dumyati, Syaikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syaikh Zainuddin Aceh, Syaikh Ahmad Khathib Sambas, Syaikh Syihabuddin, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Abdul Hamid Daghastani, Syaikh Yusuf Sunbulawani, Syaikhah Fatimah binti Syaikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syaikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syaikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syaikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syaikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani.

Setelah merasa bekal ilmunya cukup, Syaikh Nawawi kembali ke tanah air. Beliau lalu mengajar di pesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Syaikh Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar.

Murid-Murid

Akhirnya, kembalilah Syaikh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan beliau menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syaikh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Syaikh Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah beliau menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, beliau juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.

Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Makkah ditahun 1884-1885 M menyebut, Syaikh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.

Diriwayatkan bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Barangkali ulama Banten yang terkenal itu kurang menguasai bahasa Melayu yang lebih umum dan luas digunakan pada zaman itu. Oleh sebab itu, maka tidak banyak muridnya yang berasal dari luar Jawa.

Adapun murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang menjadi ulama terkenal sangat banyak, di antaranya adalah, Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur). Murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang terkenal lainnya ialah KH. Raden Asnawi (Kudus, Jawa Tengah), KH. Tubagus Muhammad Asnawi (Caringin, Purwakarta, Jawa Barat), Syaikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Syaikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani, Syaikh Kholil Madura dan masih banyak lagi.

Salah seorang cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya dari beliau ialah Syaikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani al-Jawi (1285 H/1868 M – 1324 H/1906 M). Pada halaman pertama Al-Aqwalul Mulhaqat, Syaikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahwa Syaikh Nawawi al-Bantani adalah orang tuanya (Syaikhnya), orang yang memberi petunjuk dan pembimbingnya. Pada bagian kulit kitab pula beliau menulis bahwa beliau adalah ‘sibthun’ (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang tersebut di atas, banyak murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 M. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin pemberontak Cilegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Semuanya adalah murid Syaikh Nawawi al-Bantani yang dididik di Makkah.

Karya-Karya

Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syaikh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, beliau tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Beliau termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syaikh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.

Ulama asal Mesir, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kitabnya “al-Durûs min Madhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas) seperti:

1. Targhibul Musytaqin, selesai Jum’at, 13 Jumadil Akhir 1284 H./1867 M. Cetakan awal Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1311 H.
2. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jumadil Awal 1286 H./1869 M. Dicetak oleh Mathba’ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 H.
3. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Dzulkaidah 1289 H./1872 M. Cetakan pertama Mathba’ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 H.
4. Madarijus Su’ud ila Iktisa’il Burud, mulai menulis 18 Rabi’ul Awal 1293 H./1876 M. Dicetak oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Dzulkaidah 1327 H.
5. Hidayatul Azkiya’ ila Thariqil Auliya’, mulai menulis 22 Rabi’ul Akhir 1293 H./1876 M. selesai 13 Jumadil Akhir 1293 H./1876 M. Diterbitkan oleh Mathba’ah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.
6. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadhan 1294 H./1877 M. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1304 H.
7. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Shafar 1294 H./1877 M. Dicetak oleh Mathba’ah al-Jadidah al-’Amirah, Mesir, 1297 H.
8. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabi’ul Awal 1297 H./1879 M. Cetakan pertama oleh Mathba’ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 M.
9. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jumadil Awal 1305 H./1887 M. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1314 H. atas biaya saudara kandung pengarang yaitu Syaikh Abdullah al-Bantani.
10. Nasha-ihul `Ibad, selesai 21 Shafar 1311 H./1893 M. Cetakan kedua oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1323 H.
11. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu’bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak di bagian tepi kitab nomor 10, oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Makkah, 1323 H.
12. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Makkah, 1332 H.
13. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah, Makkah, 1321 H
14. Mirqatu Su’udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Miriyah, Makkah 1304 H.
15. Ats-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Bahiyah, Mesir, Syaban 1299 H. Dicetak juga oleh Mathba’ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342 H.
16. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.
17. Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.
18. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- ‘Allamah al-Khatib, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taraqqil Majidiyah, Makkah, 1328 H.
19. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh Syarikat al-Ma’arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.
20. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba’ah al-Bahiyah, Mesir, awal Syaaban 1299 H.

Karya tafsirnya, al-Munir sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi dan Imam Jalaluddîn al-Mahalli yang sangat terkenal itu. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Naja, karya Syaikh Salim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang matan yang dikomentarinya.

Karya-karya beliau di bidang Ilmu Aqidah misalnya Tîjan al-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja. Adapun Qami’u al-Thugyan, Nashaih al-‘Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci.

Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad. Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.

Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, beliau mendapat gelar : Sayyid Ulama al-Hijaz, Al-Imam wa Al-Fahm al- Mudaqqiq, A’yan Ulama al-Qarn al-Ram Asyar li al-Hijrah, Imam Ulama al-Haramain.

Pemikiran

Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syaikh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, beliau memiliki caranya tersendiri. Syaikh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti beliau kooperatif dengan mereka. Syaikh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Beliau lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.

Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syaikh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Al Qur’an dan Al-Hadits, selain juga Ijma’ dan Qiyas . Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syaikh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fiqih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.

Wafat

Syaikh Nawawi al-Bantani wafat pada 25 Syawal 1314 H. atau bertepatan pada tahun 1897 M. dalam usia 84 tahun. Di tempat kediamannya di kampung Syi’ib Ali, sebuah kawasan di pinggiran kota Makkah, jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la Makkah, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq. Syaikh Nawawi al-Bantani wafat pada saat sedang menyusun buku yang menguraikan Minhaj ath-Thalibin-nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jam’ah Hujam an-Nawawi.

Dalam perjalanan hidupnya Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam dan Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.

Karomah

1. Menjadikan telunjuknya lampu
Pada suatu waktu beliau pernah mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau yang dijadikan sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf atau rumah-rumahan, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu agar dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis itu. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.

2. Melihat Ka’bah dengan telunjuknya
Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan.
Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah SAW yaitu Sayyid Utsman bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi. Masjid Ulama dan Mufti Betawi itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsman sendiri.
Kemudian, beliau kedatangan anak remaja (Syaikh Nawawi) yang menyalahkan arah kiblatnya. Saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya itu menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsman. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsman tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojannya itu sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesjidnya itu harus dibetulkan.
Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi meletakan tangan kirinya ke bahu Sayyid Utsman (merangkul) dan tangan kanannya menunjuk sesuatu.
Syaikh Nawawi berkata: “Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak ke kiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah”. Sayyid Utsman termangu dan keheranan. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsman merasa takjub dan menyadari remaja yang bertubuh kecil dihadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil beliau dan berjabat tangan sambil bermaksud mencium tangannya. Ketika Sayyid Utsman ingin mencium tanganya, ditariklah tangannya (Syaikh Nawawi), Sayyid Utsman pun kebingungan mengapa beliau tidak mau?, Sayyid Utsman pun bertanya dan Syaikh Nawawi menjawab: “Karena saya tidak pantas untuk bersalaman sambil dicium begitu olehmu”.
Subhanallah alangkah bagusnya akhlak beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.

3. Mayatnya yang luarbiasa
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek, masih harum dan tidak lapuk sedikitpun.
Tentu saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil.
Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Makkah dan yang paling aneh kuburan beliau satu-satunya kuburan yang tumbuh rumput bahkan rumputnya hijau dan bagus. Subhanallah.

4. Tidur di lidah ular
Konon pada suatu malam hari dimana beliau melanjutkan perjalanannya ke Makkah, beliau kelelahan dan mencari sebuah gubuk yang tak berpenghuni atau saung. Setelah mencari-cari akhirnya beliau menemukan lampu yang sangat redup dan kecil. Akhirnya beliau tiba di suatu tempat tersebut dan memulai untuk beristirahat. Saking lelahnya tidurlah beliau dengan meletakan tongkatnya dengan posisi berdiri.
Pagi pun datang dan beliau terbangun dari tidurnya untuk sholat dan kemudian melanjutkan perjalananya. Setelah kurang lebih 7 langkah dari tempat peristirahatannya itu, beliau menyentuh darah dari ujung tongkatnya tersebut, dengan heran kemudian beliau menoleh ke belakang dan menemui ular raksasa yang sedang beranjak pergi. Tanpa disadari ternyata semalem beliau tidur di lidah seekor ular raksasa dan tongkatnya yang berposisi berdiri tersebut merintangi kedua gigi ular itu. Beliau pun langsung menyebut kalimat istighfar dan memuji kebesaran Allah SWT dengan mengucapkan kalimat kebesaran-NYA.

5. Mengeluarkan buah rambutan dari tangannya
Di Makkah beliau mendirikan tempat mengajar/sekolah dengan murid yang lumayan banyak.
Di suatu hari beliau menerangkan kepada para santri-santrinya.
Syaikh Nawawi: “Sunnah Islam kalau berbuka puasa itu hendaknya memakan yang manis-manis terlebih dahulu, kalau di sini terdapat buah kurma, di tempatku ada yang tidak kalah manisnya dengan kurma”
Santri-santri:” Betul syaikh kalo di tempat kami kurma, lalu bagaimana dengan tempat syaikh yang tidak tumbuh buah kurma?”
Syaikh Nawawi: “Sebentar”.
Syaikh Nawawi langsung menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya. Santri-santri pun sangat heran apa yang dilakukan gurunya tersebut dan terdengar di telinga para santri suara seperti orang yang sedang mengambil buah-buahan dari pohonnya.
Kemudian Syaikh Nawawi menyuguhkan buah rambutan yang persis seperti baru diambil dari pohonnya. Santri-santri pun sangat terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
“Nah ini yang aku makan pertama ketika berbuka puasa di tempatku, silahkan dicicipi”, kata Syaikh Nawawi sambil membagikannya kepada para santri di kelasnya mengajar.
Para santri pun langsung mencicipi dan sangat menikmati kemanisan buah rambutan yang diberikan gurunya itu.

Kesimpulan

1. Syaikh Nawawi al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syaikh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898 M., lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika beliau dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi, Khadijah di Ma’la.
2. Syaikh Nawawi al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti “Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga mendapat gelar “al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq” yang berarti “Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje memberi gelar “Doktor Teologi”.
3. Pada tahun 1870 M., Syaikh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syaikh Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syaikh Nawawi al-Bantani.
4. Paling tidak terdapat 34 karya Syaikh Nawawi yang tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5. Kelebihan dari Syaikh Nawawi al-Bantani adalah menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastra Arab yang susah dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syaikh Nawawi memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syaikh Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syaikh Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
6. Syaikh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi lain (seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syaikh Nawawi adalah mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu, seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi. Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu, di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan aqli. Namun Syaikh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya, bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan. Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus diutamakan.
7. Dalam konteks Indonesia, Syaikh Nawawi merupakan tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah. Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
8. Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang dianut oleh Syaikh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syaikh Nawawi al-Bantani.
9. Dalam konteks penjajahan, Syaikh Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya. Karena itu, murid-murid Syaikh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan salah satu contoh dari karya murid Syaikh Nawawi. Karena itu, wajar jika Syaikh Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.
10. Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen (Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan kitab-kitab yang ditulis Syaikh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin, sekurang-kurangnya 22 karangan Syaikh Nawawi yang menjadi rujukan di pesantren-pesantren itu.

* Dari berbagai sumber

Tinggalkan komentar